Minggu, 28 April 2013

Tahluknya Paku Buwana II , dan Kumpeni semakin berkuasa...

"....Punika serat prakawis dening hanguculaken serta hanrahhaken menggah Keraton Matawis, saking Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Hangalaga Ngabdulrahman Sajidin Panatagama, hinggih hawit saking hingkang parentah Kanjeng Kumpeni kang hageng wahu, keraton punika kasrah dateng Kanjeng Tuwan Gupernur serta Direktur hing Tanah Jawi Johan Handrijas Baron van Hovendrorff..

Kawula Kanjeng  Susuhunan Paku Buwono Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sajidin Panatagama, hangakeni sarta hamratelakken kalyan ikhlasing manah..."


Denikian surat penyerahan kedaulatan kerajaan. Secarik kertas yang ditanda tangani oleh Sunan Paku Buwana II pada tanggal 11 Desember 1749, ditujukan kepadan Gubernur VOC bagian pesisir timur, Baron van Hovendorff.

Surat ini tentunya mengherankan pihak kumpeni Belanda. Baron van Hovendrorff semula menganggap surat penyerahan itu sebagai pembayaran utang-utang Paku Buwana II dan para leluhurnya kepada VOC. Namun ternyata, secara keseluruhan, surat berbahsa dan beraksara jawa ini (kemudian di alih bahasakan dalam bahasa belanda) tidak menyebutkan hak dan kewajiban antara Keraton dan VOC. Tapi justru penyerahan sepenuhnya pengalihan kedaulatan keraton.

Baron van Hovendorff sebenarnya bukan orang baru bagi Paku Buwana II,  dialah orang yang diutus pemerintah VOC di Batavia sebagai mediator untuk memperbaiki hubungan antara VOC dengan Paku Buwana II pada tahun 1742. Sikapnya sangat kompromis dan diplomatis, sikap itu membuat perasaan Paku Buwana II tenang. Karena sikapnya itu, pada tahun 1949, ketika Paku Buwana II sakit keras dan mengundang VOC untuk mengawasi berlangsungnya pergantian kekuasaan. Kehadiran Baron van Hovendorff sangat melegakan Paku Buwana II. Bahkan pada waktu itu, Raja Paku Buwana II sempat mengusulkan agar Hovendorff mengambil alih sendiri kepemimpina negara. Utusan VOC dari Batavia itu pun terkejut, kendati demikian Hovendorff akhirnya menyetujui juga. Maka lahirlah surat pengalilahan kedaulatan tersebut.

Surat itu pun menghebohkan kalangan atas dalam istana Kartasura-dan terutama membuat marah saudara-saudara raja yang selama ini bersikap berseberangan dengan Paku Buwana II. Misalnya saja, saudara tiri raja selama ini memberontak, Pangeran Mangkubumi, sehari setelah surat itu ditandatangani, Pangeran mangkubumi segera memproklamirkan dirinya sebagai raja baru, dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Semula dia menggunakan gelar Susuhunan ing Mataram - namun kemudian diralat dan menggunakan gelar Sultan Hamengku Buwana.





RAJA SUFISTIK ISLAM


Barangkali, Paku Buwana II adalah raja yang dianggap paling lemah sebagai keturunan Dinasti Mataram. Mungkin karena usianya yang masih sangat muda, baru berusia 16 tahun ketika diangkat menjadi raja. Kepribadian Paku Buwana II masih seperti lazimnya seorang remaja beralih dewasa, bahasa gaulnya sekarang adalah ababil. Pada awal pemerintahannya, dia sangat dipengaruhi - bahkan setengah didekte oleh Ibunya, Ratu Amangkurat IV, dan nenek suri Ratu Paku Buwana I yang sangat fanatik dengan ajaran sufistik Islam. Raja sangat dekat dengan Patih Danurejo yang sangat ambisius.

Dalam bayang-bayang kekuatan yang dekat dengan dirinya itu, Paku Buwana II tampil sebagai raja yang selalu mencoba mengedepankan nilai-nilai ajaran sufistik Islam. Akibatnya, pemerintahannya terkesan tidak tegas dan akomodif terhadap pihak-pihak yang memusuhi keraton. Ajaran sufistik Islam sangat menganjurkan penganutnya untuk bersifat zuhut dunia (menjauhi dunia). Sementara sebagai raja, dia harus berlaku sebagai kepala pemerintahan yang notabenya harus peduli dengan masalah-masalah keduniawian - baik yang menyangkut kelangsungan keratonnya (negaranya), maupun posisinya.

Penampilan sufistik Islam pada diri raja ini agaknya menyuburkan pertikaian politik yang sudah ada sejak zaman ayahnya masih hidup. Bara perpecahan di dalam keraton ini menjadi api yang berkobar, ketika Patih Danurejo mencoba menyingkirkan Pangeran Arya Mangkunegara, saudara laki-laki raja, yang pernah memberontak, sejak pulang dari pelariannya setelah gagal mbalelo kepada ayahnya, Sunan Amengkurat IV. Panngeran Mangkubumi ini menjadi sangat populer dan justru bertambah besar pengaruhnya. Keadaan di keraton yang seperti ini, malah menimbulkan kebencian patih Danurejo yang ingin memonopoli pengaruhnya terhadap Paku Buwana II.





INTRIK POLITIK


Patih Danurejo menyusun jebakan politik untuk menyingkirkan Pangeran Arya Mangkubumi. Diam-diam ditebarlah fitnah bahwa Mangkubumi sedang menjalin hubunngan gelap dengan salah satu selir raja. Perangkap masuk, Sunan Paku Buwana II ikut terpengaruh dengan hasutan palsu si Patih itu. Raja pun meminta bantuan VOC untuk membuang Mangkunegara. Kendati VOC tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, namun karena kawatir akan terjadi pemberontakan, maka Pangeran Mangkubumi akhirnya dibuang ke Batavia, kemudian dipindahkan ke Srilanka, sebelum akhirnya diasingkan di Tanjung Harapan. Kelak, putra Pangeran Arya Mangkunegara ini, yang bernama Raden Mas Said, akan mengangkat senjata melawan raja.

VOC mengetahui bahwa sumber intrik berasal dari Danurejo, dan ini akan berbahaya. Belanda kawatir dengan sikap tak bersahabat Danurejo kepada VOC akan mempengaruhi raja. Apalagi, Danurejo dicurigai  tenggah menggalang persekutuan dengan keturunan Untung Surapati di Jawa bagian timur. Sementara. nenek raja, Ratu Paku Buwana I, mencoba menjauhkan raja dengan patihnya, dan mendidik cucunya dengan serius agar bisa menjadi seorang raja sufi teladan.

Komitmen raja terhadap kesalehan dan moralitas Islam memang menguat. Dan ini berhadapan dengan sikap sekuler Danurejo yang secara terang-terangan tidak menyukai kesalehan dan mistisme Islam. Paku Buwana II akhirnya balik memusuhi Danurejo. Dan atas desakan raja, akhirnya patih ini ditangkap Belanda lalu dibuang ke Batavia.





ANCAMAN BARU DARI LUAR KERATON

Namun ada ancaman baru dari luar, yaitu Pangeran Cakraningrat IV dari Madura Barat. Kendati sudah menjadi adik ipar raja, pangeran Madura ini lebih senang dibawah VOC ketimbang takluk kepada Paku Buwana II. Untuk menenangkan adik iparnya itu, Paku Buwana II kemudian membebaskan kewajiban Cakraningrat IV untuk menghadap ke istana. VOC memanfaatkan situasi itu untuk memperbaiki perjanjian-perjanjian pernah dibuat. Hutang-hutang keraton kepada VOC, dibuka lagi dalam perundingan yang panjang. Kesepakan akhirnya tercapai, namun terkesan keraton dirugikan dengan perjanjian baru itu. Misalnya saja, raja harus mebayar 10 ribu real setiap tahun selama 22 tahun - untuk menutup tunggakan hutang dan bungannya. Paku Buwana juga harus bersedia mengeluarkan 15.600 real per tahun - untuk mebiayai garnisun VOC yang ditempatkan di Kartasura. Yang sangat memberatkan, kerajaan harus menyetor kepada VOC sejumlah  1000 koyan(1700 mentrik ton) beras per tahun, selama 50 tahun. Kewajiba sangat berat bagi keraton, yang tentu saja juga sangat membebani rakyat Kartasura. Uniknya, kewajiban terpaksa ini tetap dipenuhi Paku Buwana II hingga tahun 1741. Setelah itu tidak lagi dilanjutkan kewajiban terpaksa tersebut, dikarenakan ranggangnya hubungan antara kumpeni dan raja, gara-gara Paku Buwana II membela pemberontak Cina.

Paku Buwana II merasa dalam posisi serba salah. Menjadikannya bimbang, semakin bimbang ketika dalam lingkungan terdekatnya menjadi dua kubu saling berhadapan. Kubu pertama dipimpin oleh Patih Notokusum, yang bersikap menetang VOC dan pro pemberontakan. Kubu kedua, adalah golongan pangeran yang didukung kekuatan-kekuatan di pesisir yang pro VOC dan melawan pemberontakan.

Namun, Paku Buwana akhirnya memutuskan memilih kubu pertama. Pada November 1741, Paku Buwana II mengirim pasukan yang seolah-olah akan membantu VOC, tapi sebenarnya pasukan Kartasura  justru bergabung dengan para pemberontak Cina. Dalam keadaan terjepit, VOC mendapat bantuan dari Pangeran Cakraningrat IV. Batuan dari Pangeran Cakraningrat memang bisa mengubah keadaan, gabungan pasukan Cina dan Kartasura bisa dipukul mundur.

Kekalahan ini membuat Paku Buwana II tersudut. Wilayah timur kerajaanya jatuh ke tangan Pangeran Cakraningrat IV. Sementara, posisinya tidak lagi disukai oleh para bangsawan di sekitarnya. Lalu raja meminta ampun kepada VOC. Permohonan ampunan ini dikabulkan dengan syarat : tokoh utama yang dianggap promotor utama pergerakan melawan VOC, Patih Notokusumo, harus di tawan dan kemudian diasingkan.

Pemberontakan belum sepenuhnya bisa ditumpas. Bahkan pemberontakan yang terdiri dari para pelarian Cina Batavia itu, juga mengangkat cucu Sunan Amangkurat III yang bernama Mas Garendi sebagai sesuhunan baru. Ekalasi perlawan terhadap Paku Buwana II mencapai puncaknya ketika bulan Juni tahun 1742, Keraton Kartasura jatuh ke tangan Mas Garendi.Sunan Paku Buwana II lolos dari maut, dan sempat melarikan diri ke Ponorogo. Atas prakarsa VOC, Cakraningrat IV sebagai sekutu utama VOC, menyerbu istana Kartasura yang diduduki kaum pemberontak. Istana Kartasura beralih ke tangan orang Madura itu.

Pangeran dari Madura yang sangat ingin menguasai Jawa bagian timur ini juga menyarankan kepada VOC, agar Paku Buwana II dibunuh saja, karena dianggap tidak setia. Namun pihak VOC tidak menyetujuinya, karena menganggap Paku Buwana II sebagai raja yang lemah dan mudah dikendalikan.

VOC masih membela Paku Buwana II, dan meminta Cakraningrat hengkang dari Kartasura dan menyerahkan singgasana kepada Paku Buwana II. Karena takut hubungannya diputuskan, Cakraningrat dengan terpaksa kehendak VOC itu

Saat itu, pemberontakan sudah mereda dan ditandai dengan menyerahnya Mas Garandi pada Oktober 1743. Kaum pemberontak hanya tinggal adik tiri raja, Pangeran Mangkubumi, dan keponakan raja, Raden Mas Said. Pada tahun 1743 itu juga, hubungan dengan VOC pulih telah kembali dan singgasana diduduki oleh Paku Buwana II.

Duduknya kembali Paku Buwana II ke tahta tidak diterima secara gratis. VOC mendapat wilayah baru dan berkuasa atas daerah Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, dan Ujung Timur . Raja juga wajib menyerahkan 5000 kayon (sekitar 8.600 mentrik beras) setiap tahun untuk selama-lamanya. Dan yang paling menjerat adalah keharusan adanya garnisun VOC di Keraton.

Peristiwa bedah Kartasura inilah, yang diartikan oleh para penasihat spiritual raja sebagai tanda kesialan. Makanya raja disarankan untuk membuat keraton baru dan pindah dari keraton di Kartasura yang sudah 'kotor' oleh kaum pemberontak. Paku Buwana II akhirnya memindahkan istananya ke tepi sungai Solo, yang terletak 12 km sebelah timur Kartasura pada Februari 1746.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar